Dirgahayu Bung Karno…

Lagu yang dipopulerkan oleh Onny Surjono, penyanyi kondang pada pertengahan 1960-an ini bukan hanya sekedar lirik biasa, lagu yang sering diputar di Radio Republik Indonesia itu ternyata merefleksikan tokoh Bung Karno sebagai sosok “pembela negara”, “penggali pancasila”, dan “pendekar Indonesia”.

Meski lirik lagu tersebut mengandung tokoh politik, tetapi lagu itu adalah lagu pop biasa yang ditulis dengan kaidah-kaidah lagu pop yang mudah dicerna dan dihafal.

Bahkan, saat itu lagu tersebut sering dipesan oleh para pendengar dalam acara Pilihan Pendengar layaknya lagu pop biasa.

Lagu ciptaan Wedhasmara dengan judul “Dirgahayu Bung Karno” menarik para pendengar Radio Republik Indonesia dalam acara Pilihan Pendengar layaknya lagu pop pada umumnya.

Lagu tersebut diawali dengan lirik “Setiap 6 Juni ku datang padanya” yang memiliki arti bahwa tanggal 6 merupakan hari kelahiran Bung Karno.

Dirgahayu Bung Karno ku tercinta…

PENGUKUHAN & PELANTIKAN FORUM PENGURUS KARANG TARUNA PROVINSI JAWA TIMUR MASA BAKTI 2022-2027 : MESKI NAIK KELAS NAMUN TETAP BERTANGGUNGJAWAB SOSIAL…

SURABAYA – Pengurus Karang Taruna Jawa Timur periode 2022-2027 resmi dikukuhkan oleh Kepala Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur – Dr. Alwi M.Hum atas nama Gubernur Jawa Timur. Kegiatan yang berlangsung di Gedung Dinas Sosial Provinsi Jawa Timur pada Jum’at (23/12/22) bertajuk “Pengukuhan dan Pelantikan Forum Pengurus Karang Taruna Provinsi Jawa Timur masa bakti 2022-2027” tersebut dihadiri oleh sejumlah pejabat dan tokoh pemuda di Jawa Timur, di antaranya Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Provinsi Jawa Timur, serta beberapa tokoh lainnya.

Delegasi Karang Taruna Kota Malang. Dari kiri ke kanan : Kurniawan Pancolo, Intan F. Ikebana, Agus Maimun, Suryadi, Achmad Dardiri, Jawad Bahonar, Erwin Mulyo Pambudi. (Koleksi Pribadi).


Dalam kesempatan ini, Ketua Karang Taruna Jawa Timur periode 2022-2027, Agus Maimun berpesan “Menurut data Sensus Penduduk tahun 2020 (SP2020) Badan Pusat Statistik (BPS), Karang Taruna se-Jawa Timur harus bisa mengambil tanggung jawab sosial dengan adanya surplus pemuda di Jawa Timur atau dengan kata lain bonus demografi.

“Kita harus mengambil tanggung jawab sosial sebab hari ini Jawa Timur memiliki surplus pemuda yang tinggi atau biasa disebut dengan bonus demografi, untuk kebaikan provinsi Jawa Timur sendiri”, ungkap Agus Maimun.

Lanjutkan membaca “PENGUKUHAN & PELANTIKAN FORUM PENGURUS KARANG TARUNA PROVINSI JAWA TIMUR MASA BAKTI 2022-2027 : MESKI NAIK KELAS NAMUN TETAP BERTANGGUNGJAWAB SOSIAL…”

Arcopodo yang Tersembunyi di gunung Semeru

Dua arca batu itu berdiri berdampingan dalam senyap hutan di ketinggian 3.002 meter di atas permukaan laut. Keduanya menghadap ke utara sehingga pandangan mata setiap orang yang menatapnya akan mengarah ke Mahameru. Inilah Arcopodo, arca pemujaan tertinggi di Pulau Jawa yang pernah dikabarkan hilang. Arca yang awalnya dianggap sebagai dongeng itu ”ditemukan” mendiang Norman Edwin dan Herman O Lantang dari Mapala Universitas Indonesia pada 1984. Dua tahun kemudian, Norman kembali mendatangi dua arca itu dan menuliskan temuannya di majalah Swara Alam, ”Arca ini sulit dikenali karena kepala dan separuh badannya hilang.” Semenjak itu, keberadaan kedua arca itu tak pernah lagi diketahui. Herman, yang mencoba mencari kembali dua arca ini dalam pendakian tahun 1999, gagal menemukan. ”Di jalur menuju tempat arca itu, saya mendapati jurang pasir yang dalam dan sulit diseberangi. Ketika itu saya sampai jatuh ke dalam jurang sehingga saya memutuskan tidak mengunjungi arca itu,” tulis Herman dalam buku Soe Hok-Gie:

Lanjutkan membaca “Arcopodo yang Tersembunyi di gunung Semeru”

7 (Tujuh) Asas Pokok Yang Harus Diperhatikan Oleh Setiap Organisasi

Terdapat 7 (tujuh) asas pokok yang harus diperhatikan oleh setiap organisasi. Tujuh asas pokok tersebut adalah sebagai berikut:

1. Perumusan Tujuan dengan Jelas

Sesuatu yang hendak dicapai oleh organisasi hendaknya dirumuskan dengan jelas, dan difahami oleh setiap anggota dan atau orang di dalam organisasi. Sehingga dengan demikian di samping dapat menjiwai setiap orang dalam melaksankan tugas, publik intern itu mungkin dapat menyumbangkan idenya, kreasinya terhadap tindakan atau langkah yang diambil.

Yang selanjutnya akan menambah keyakinan, memberi motivasi dalam menjalankan tugas. Karena mereka diikutsertakan, diberi wewenang, dan mereka merasa mempunyai peranan, maka akan selalu tergugah hatinya untuk dapat mempertanggungjawabkan tugas yang dilimpahkan dengan sebaik mungkin.

2. Pembagian Tugas Pekerjaan

Jikalau dikaji kembali tentang definisi organisasi, maka akan kita jumpai salah satu unsurnya ialah adanya dua orang atau lebih yang bersepakat untuk mengadakan kerjasama, untuk mencapai tujuan yang mereka kehendaki bersama.

Maka agar mereka dapat melakukan kegiatan dengan baik, dalam arti juga untuk meringankan beban masing-masing pihak, maka perlu diadakan pembagian tugas pekerjaan. Baik pembagian tugas ke dalam satuan-satuan organisasi, ke dalam sub-sub unit, atau sampai ke dalam satuan-satuan pelaksana (operating unit).

Lanjutkan membaca “7 (Tujuh) Asas Pokok Yang Harus Diperhatikan Oleh Setiap Organisasi”

MENGHAPUS DOSA DENGAN MEMAAFKAN DAN MEMINTA MAAF

Oleh :

Dr. H. Fuad Nashori, S.Psi., M.Si., M.Ag.,

Psikolog

Salah satu kehidupan manusia adalah suka berbuat salah dan dosa. Manusia membutuhkan cara untuk menutupi kekurangannya itu, khususnya dosa yang terarah kepada sesama manusia. Saat orang lain berbuat salah dan dosa yang terarah kepada kita, kita diajari untuk memaafkan. Saat kita berbuat salah dan dosa kepada orang lain, kita diajari untuk meminta maaf. Tulisan ini akan melakukan kajian terhadap dua hal di atas, yaitu memaafkan dan meminta maaf.


Sabar dan Memaafkan
Dalam kehidupan sehari-hari ada saja perbuatan orang lain yang tidak berkenan bahkan menyakitkan hati kita. Bila kita menyimpannya dalam hati, rasa sakit itu ternyata menimbulkan berbagai dampak fisik dan psikologis. Sakit hati membahayakan kesehatan jantung dan sistem peredaran darah (William & William, 1993), kanker, tekanan darah, tukak lambung, flu, sakit kepala, sakit telinga (Pennabaker, 2003). Sakit hati juga menjadikan hati manusia dipenuhi marah, dendam dan benci kepada orang lain yang dipersepsi merugikannya. Ini menjadi sumber stres dan depresi manusia. Hati yang dipenuhi energi negatif, akan mengarahkan individu untuk berkata-kata yang destruktif, baik dalam bentuk rerasan, pengungkapan kemarahan di depan publik, maupun hujatan. Dampak lebih jauh adalah kekerasan, termasuk di dalamnya mutilasi.


Bagaimana semestinya kita menyikapi perilaku orang lain yang mengganggu kita? Jawaban pertama adalah kesabaran. Allah ‘azza wa jalla (QS al-Baqarah <2>: 155-156) berfirman:

“Dan sungguh Kami akan berikan cobaan kepadamu, dengan ketakutan, kelaparan, kehilangan harta dan jiwa. Namun, berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yaitu orang yang apabila ditimpa musibah mengucapkan ‘sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un).

Yang harus menjadi kepastian dalam diri kita adalah apapun yang terjadi, termasuk perilaku orang lain yang menyakitkan hati kita, terjadi karena Allah ‘azza wa jalla mengizinkannya. Tidak mungkin suatu peristiwa terjadi kalau Allah tidak mengizinkannya. Seekor nyamuk tak akan menyentuh kulit apalagi sampai menghisap darah kita kalau Allah tidak mengizinkan. Tidak mungkin ada tamparan mendarat di muka kita kalau Allah tidak mengizinkan. Kalau Allah menghendaki atau mengizinkan suatu kerugian menimpa kita, pasti Allah punya maksud. Maksud utamanya adalah menguji kita dengan cara memberi cobaan kepada kita. Bila punya cara berpikir ilahiyah sebagaimana di atas, maka kita akan sampai kepada pemahaman “Allah sedang menguji saya”. Orang yang mampu bersabar, maka Allah bersamanya. Innallaha ma’ash-shabirin.

Lanjutkan membaca “MENGHAPUS DOSA DENGAN MEMAAFKAN DAN MEMINTA MAAF”

Membuka Diri : Siapa Takut ?

M.M. Nilam Widyarini, MSi,

dosen pada Fakultas Psikologi Universitas Guna Dharma, Jakarta

MEMBUKA diri terhadap orang lain (self disclosure) itu ibarat mata uang, memiliki dua sisi. Di satu sisi berarti memasuki hubungan yang lebih matang. Di sisi lain, terdapat risiko dicemooh dan dikhianati. Bagaimanapun, self disclosure merupakan isyarat berkembangnya hubungan yang sehat yang perlu dikelola.

Kadang-kadang kita dibuat kagum oleh seseorang yang dengan sangat terbuka dapat menceritakan apa saja yang ia pikirkan, rasakan, dan inginkan. Meskipun banyak kesulitan atau kekurangan, hidup seolah dirasa sebagai hal yang ringan, dan dilakoni tanpa beban. Kita dapat menjadi lebih nyaman berinteraksi dengan pribadi seperti itu. Karena ia terbuka, kita pun dapat menjadi lebih terbuka, dan akhirnya relasi berlangsung lebih akrab dan saling percaya. Namun, pada kesempatan lain kadang terjadi sebaliknya. Kita justru merasa muak dengan seseorang yang terlalu membuka diri sampai ke hal-hal yang sangat pribadi, yang menurut kita tidak pantas untuk diceritakan kepada orang banyak.

Sebut saja namanya Mr X, kepada teman-teman di luar lingkungan kantor ia menceritakan bagaimana kebiasaan-kebiasaan yang terjadi di kantornya: bahwa proyek di departemennya itu hanya 20 persen yang dioperasionalkan, dan 80 persen lainnya dibagi-bagi di antara pimpinan dan karyawan tertentu, termasuk dirinya. Ia menceritakan hal itu bukan didasari oleh keprihatinan karena ia sendiri senang menerima bagian. Pada saat lain, Mr X menceritakan bahwa ia sedang ada janji dengan seorang bos untuk sama-sama pergi ke tempat praktik seorang paranormal demi keperluan tertentu. Bukan untuk urusan penyakit atau gangguan lain, tetapi buat melancarkan suatu tujuan yang tidak ia ceritakan.

Cerita tersebut di lingkungan orang-orang yang hidup dengan budaya penuh etika bukannya menimbulkan simpati, malah menghasilkan cemoohan. Hal ini juga terjadi dalam percakapan yang semula akrab antara sopir taksi (pria) dengan penumpang wanita. Pada akhir percakapan, si penumpang yang semula senang mendengar kisah sehari-hari sopir taksi akhirnya merasa terhina karena dia belakangan membanjirinya dengan kisah keberhasilan berkencan dengan beberapa wanita penumpang taksinya. Di samping kondisi positif dan negatif seperti digambarkan di atas, ada kondisi lain yang dapat kita jadikan referensi untuk menentukan kapan dan bagaimana sebaiknya kita membuka diri. Di sebuah perusahaan, Lisa (bukan nama sebenarnya) nyaris mengalami PHK setelah hampir setahun bekerja. Pasalnya, bukan karena ia tak punya kemampuan atau melakukan penyimpangan, tetapi karena adanya masalah keluarga yang mengganggu, sehingga kinerjanya sebagai asisten manajer sangat merosot. Selama masalah itu berlangsung Lisa sangat gelisah, tetapi tidak berani bercerita kepada atasan karena merasa tidak pantas membicarakan persoalan pribadi dengan orang kantor. Singkat cerita, ketika ia mendapat teguran atasan, akhirnya ia memberanikan diri bercerita, dan akhirnya atribusi atasannya berubah. Manajer itu kembali menaruh kepercayaan atas kemampuan Lisa, dan ia sendiri terus memberikan dukungan dalam mengatasi persoalan Lisa. Akhirnya Lisa dapat bekerja lebih tenang karena dimengerti keadaannya. Dengan atasan, meski tetap formal, berkembang pula relasi personal yang memberikan rasa nyaman.

Lanjutkan membaca “Membuka Diri : Siapa Takut ?”

Komitmen dan Empati Bawaslu dan PTUN

Oleh :

Bernad Dermawan Sutrisno
Sekretaris Jenderal KPU RI

Dalam berbagai konsinyering dan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara DPR, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP), disepakati bahwa durasi waktu Kampnye Pemilu 2024 selama 75 Hari kalender.

Penetapan jumlah hari kampanye Pemilu tersebut, tidak sekedar lamanya waktu bagi peserta pemilu melakukan kampanye. Namun sangat erat berkaitan dan menentukan terhadap 2 (dua) aktivitas Pemilu lainya, yakni penyiapan logistik Pemilu oleh KPU dan Penyelesaian Sengketa proses Pemilu oleh Bawaslu/PTUN.

KPU dapat melakukan produksi (pencetakan) logistik Pemilu, khususnya yang berkaitan dengan pencalonan yakni Surat Suara dan berbagai Formulir penghitungan/rekapitulasi, apabila Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota Legislatif dan Capres, sudah final (tanpa perubahan). Yang menenentukan DCT final tidaknya adalah KPU secara tunggal. Tapi Bawaslu dan PTUN melalui kewenangan penyelesaian sengketa, justru menjadi filter dan penentu akhir DCT disebut final. Sebab, DCT yang sudah ditetapkan oleh KPU dapat berubah apabila ada Putusan dari Bawaslu/PTUN.

Lanjutkan membaca “Komitmen dan Empati Bawaslu dan PTUN”

SERANGAN UMUM 1 MARET 1949 DI YOGYA DALAM LIPUTAN MEDIA BELANDA

REPOSTING : MENYINGKIRKAN MAHLUK SYIRIK YG INGIN BELOKKAN FAKTA SEJARAH, dikirim dari Prof. Surya Suryadi, Leiden Belanda

Selamat siang waktu Leiden.

Tampaknya di Tanah Air sedang heboh dan menjadi polemik di ruang publik soal SERANGAN UMUM 1 MARET 1949 TERHADAP KEDUDUKAN BELANDA DI YOGYAKARTA. Oleh sebab itu, kita belokkan napaktilas sejarah kita dari Kerajaan Sikka di Pulau Flores ke Yogyakarta pada masa yang kurang lebih sama: akhir 1940an.

Polemik yang muncul konon dipicu Keputusan Presiden No. 2/2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara yang baru-baru ini dikeluarkan dimana nama SOEHARTO tidak tercantum; narasi dalam Kepres tersebut hanya menyebutkan bahwa ide serangan itu datang dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX, diperintahkan oleh Jendral Sudirman, serta disetujui dan digerakkan oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan didukung oleh TNI dan laskar-laskar rakyat lainnya (lihat: https://www.youtube.com/watch?v=W1pfxYQG8ko).

Lepas dari polemik yang sedang terjadi, sebenarnya cukup lucu juga bahwa apa yang terjadi baru terjadi 73 tahun lalu itu seolah merupakan peristiwa yang tidak ada datanya, diutak atik semau gue, padahal tahun 1940an adalah zaman yang sudah cukup modern dengan teknologi perekaman peristiwa yang sudah cukup canggih (kamera, film, mesin ketik, mesin cetak, dll.). Bagaimana ini bisa terjadi pada sebuah bangsa?

Dalam kesempatan ini, saya postingkan beberapa guntingan koran berbahasa Belanda yang terbit pada bulan Maret 1949 dan bulan-bulan sesudahnya, sampai Presiden Soekarno kembali ke Yogya dari tempat beliau diasingkan oleh Belanda di Prapat/Bangka pada 5 Juli 1949.

Koran-koran berbahasa Belanda ini merujuk kepada kantor berita Aneta dan juga koran-koran vernakular berbahasa Indonesia yang terbit pada waktu itu, seperti NASIONAL, KEDAULATAN RAKJAT, MATARAM, SOERJA TJANDRA, PEDOMAN, dan lain-lain. Banyak lagi guntingan koran yang memberitakan Serangan Umum 1 Maret ini 1949 ini, dan situasi selepas serangan itu, yang tidak mungkin saya postingkan semuanya di sini. Namun, secara umum situasi yang digambarkan oleh media kurang lebih sebagai berikut https://www.youtube.com/watch?v=W1pfxYQG8ko

Tanggal 3 Maret, dua hari setelah serangan, beberapa media melaporkan apa yang mereka sebut sebagai “serangan kaum ekstrimis terhadap Djogja”.

“Pukul 6 pagi tanggal hari Senin 1 Maret 1949, kelompok ekstrimis yang sangat kuat di berbagai tempat di Yogya melancarkan serangan”, demikian laporan koran ‘Provinciale Drentsche en Asser courant’ (Assen) Kamis 03-03-1949, misalnya. Dikatakan bahwa menurut seorang koresponden khusus mereka dari Aneta Yogya yang mewawancarai Kolonel Van Langen, komandan tentara Belanda di Yogyakarta, para ‘ekstrimis’ ini , menurut sang Kolonel, memiliki peluang untuk meraih kesuksesan yang langgeng.

Selanjutnya dilaporkan, setelah para pejuang Republik Indonesia mundur, situasi Yogya terkendali lagi.

Kerugian di pihak Belanda: enam orang tewas (3 di antaranya polisi) dan empat belas orang luka-luka.

Dilaporkan bahwa gangguan telah benar-benar berakhir sekitar jam 11 pagi. Diperkirakan sekitar 2.000 orang, yang tergabung dalam kelompok-kelompok pejuang di sekitar kota, telah ikut ambil bagian dalam serangan bersama itu (Ibid., 04-03-1949)

“Hari Rabu kembali damai di Djogja, pemandangan kota kembali normal, pasar ramai dan bioskop kembali beroperasi”, demikian ulasan koran ini.

Walau bagaimanapun, serangan ini tampaknya amat mengejutkan Belanda. Jenderal Spoor segera mengunjungi Yogya pada hari Rabu, 2 Maret (sehari setelah serangan). Ia tiba pukul 11 pagi dengan pesawatnya sendiri dan berangkat sore hari dengan mobil via Magelang menuju Semarang. Sebelum kedatangan Jenderal Spoor, komisaris pemerintah Angenent, komandan teritorial, Jenderal Meyer dan perwira senior lainnya telah tiba dari Semarang dengan pesawat tambahan untuk membahas situasi tersebut.

Jenderal Meyer dan Komisaris Pemerintah Angenent dan Residen Yogya Stok mengunjungi Keraton Sultan Yogya pada hari Rabu (2 Maret) pukul 12.00. Kunjungan berlangsung selama setengah jam. Disertai dengan pasukan Belanda, mereka memeriksa Istana Sultan Yogya, karena ada isu bahwa Jendral Sudirman bersembunyi di dalam Istana. Mereka bertemu sendiri dengan Sultan Hamengku Buwono IX. Sultan mengatakan bahwa tidak ada anggota kelompok penyerang bersembunyi dalam lingkungan kraton (Ibid., 04-03-1949).

Laporan media ini mengesankan bahwa Sultan Hamengku Buwono IX berada di Istana/dalam kota Yogya sehari setelah serangan 1 Maret terjadi. Artinya, beliau tampaknya tetap berada di dalam kota ketika serangan itu terjadi. Kolonel Soeharto sendiri tampaknya tidak berada di dalam kota Yogya. Dari laporan berbagai media sepanjang bulan itu dan bulan-bulan selanjutnya dapat dikesan bahwa hubungan antara Sri Sultan Hamengku Buwono IX dengan Kolonel Soeharto sangat rapat. Sudah sejak sebelum Belanda melancarkan agresi ke-2, Sultan sudah memerintahkan Kolonel Soeharto pada bulan Februari 1949 untuk menata keamanan kota Yogyakarta. Menurut Sri Sultan, Yogya saat itu memiliki 2.000 pasukan terpilih dan berdisiplin, terdiri dari 600 T.N.I. dan sisanya polisi. Kolonel Soeharto diminta untuk dapat mengendalikan kelompok-kelompok yang berpotensi menimbulkan kerusuhan dan untuk tidak melakukan kontak senjata dengan pihak Belanda.

Jenderal Sudirman, yang tidak berhasil ditangkap oleh Belanda, terus melanjutkan perang gerilya bersama pasukan TNI dan kelompok-kelompok laskar rakyat lainnya. “Tuhan bersama kita”, ungkapnya, sebagaimana dikutip oleh ‘Nieuwe Apeldoornsche courant’ (Apeldoorn), Senin 14-03-1949.

Pada bulan Juni 1949, menyusul disepakatinya Perjanjian Rum-Royen oleh kedua pihak yang bertikai, Sultan Hamengku Buwono IX, setelah berkonsultasi dengan Jendral Sudirman, menetapkan Yogya sebagai daerah dengan memerintahan semi militer. Eksekusi di lapangan dipercayakan kepada Letnan Kolonel Soeharto (‘Nijmeegsch dagblad’ [Nijmegen], Selasa, 21-06-1949; De Locomotief [Semarang], Rabu, 22-06-1949).

Perjanjian Rum-Royen mengharuskan Belanda mundur dari Keresidenan Yogyakarta. Penarikan pasukan Belanda berjalan lancar, demikian dilamporkan oleh harian ‘Maasbode’ (Rotterdam) edisi Sabtu 25 Juni 1949 di bawah judul: “Troepen trokken uit Wonosari. Nederlanders gedeprimeerd” (Pasukan mundur dari Wonosari. Belandan tertekan).

Pasukan gerilya Republik dengan tertib mengambil alih Wonosari di selatan Yogyakarta dari pasukan Belanda. Administrasi kota diambil alih di bawah pengawasan pengamat militer PBB. Pada pukul 10 waktu setempat garnisun Belanda, yang terdiri dari 150 orang, meninggalkan markasnya dan lima belas menit kemudian kota itu berada di tangan Republik. Evakuasi dipimpin oleh komandan Belanda, Kolonel Van Langen, yang mengatakan bahwa sejauh ini tidak ada insiden yang terjadi. Sultan Hamengku Buwono IX, Gubernur Militer Republik Yogyakarta, hadir pada saat keberangkatan pasukan Belanda itu.

Kolonel Van Langen mengatakan bahwa penduduk setempat terus bekerja di ladang mereka selama penarikan pasukan Belanda dilakukan, dan aktivitas di pasar berjalan normal. Pasukan Republik yang masuk ke Wonosari dikomandoi oleh Letnan Kolonel Soeharto.

Bandara Maguwo yang direbut oleh Belanda pada bulan Desember akan diserahkan ke pihak Republik pada 28 Juni, sedangkan evakuasi pasukan Belanda dari Yogya sendiri akan menyusul sehari kemudian.

Kolonel Van Langen mengumumkan bahwa yang terakhir dari 4.500 tentara Belanda akan meninggalkan kota itu pada tanggal 29 Juni antara pukul empat dan lima sore. Dia mengatakan pasukan Belanda akan ditarik ke barat dan timur laut kota.

Saat ditanya tentang suasana hati tentara Belanda yang telah meninggalkan Wonosari, Kolonel Van Langen mengaku tertekan.

Dikabarkan pula bahwa dua orang Indonesia tewas di pusat kota Yogyakarta sehari sebelumnya, salah seorang di antaranya tewas dalam bentrokan bersenjata antara patroli Belanda dan kelompok bersenjata.

Bekerjasama dengan Kepala Polisi Sumarto, Letkol Suharto terus memulihkan kententraman kota Yogyakarta. Brimob disiapkan dengan jumlah anggota yang diperluas menjadi 300 orang, yang anggotanya direkrut dari pasukan gerilya yang sudah dilatih. Mereka tetap berada di bawah komando TNI. Sultan memiliki kewenangan untuk merekrut sampai 2.400 polisi negara. Dalam beberapa minggu ke depan, pemerintahan akan diserahkan ke otoritas sipil. Demikian laporan ‘De Nieuwe courant’ yang berbasis di Surabaya dalam edisinya tgl. 6 Juli 1949 (Rabu) di bawah kolom: “Handhaving rust en orde’ (Menjaga ketentraman dan ketertiban).

Presiden Soekarno baru kembali ke Yogyakarta lagi pada hari Rabu tanggal 6 Juli 1949 jam 13:00 (‘Nieuwe Apeldoornsche courant’ (Apeldoorn) Kamis 07-07-1949). Sebagaimana sudah sama diketahui, bersama Mohammad Hatta, Haji Agus Salim, dan St. Sjahrir, ia ditangkap Belanda pada 19 Desember 1948 di Yogya ketika Belanda melancarkan “Operasi Kraai” (Operasi Gagak) yang menandai dimulainya agresi kedua mereka. Soekarno, St. Sjahrir dan H. Agus Salim dibawa ke Prapat (Sumatra Utara), sementara Hatta diasingkan ke Pulau Bangka (Manumbing).

Praktis, sejak 19 Desember 1948 sampai 5 Juli 1949 Soekarno dan Bung Hatta berada jauh dari Yogya dan tidak dapat berbuat banyak, apalagi memimpin serangan gerilya, karena mereka sedang berada dalam tawanan Belanda di Pulau Sumatra. Inilah sebentuk amnesia sejarah yang dengan dungu diperlihatkan secara telanjang dalam Kepres No.2/2022 itu.

Kemenangan TNI dan laskar-laskar rakyat dirayakan di Yogyakarta pada Selasa pagi 4 Oktober 1949. Dalam laporannya di bawah kolom “Legerdag in Djogja”, surat kabar ‘De Locomotief’ (Semarang) edisi Kamis 6 Oktober 1949 menuliskan:

Perayaan Hari Tentara di Yogyakarta pada Rabu pagi mencapai klimaksnya ketika satuan-satuan TNI yang dipimpin Letkol Soeharto menggelar pawai di depan para petinggi militer, antara lain Panglima TNI Presiden Sukarno, Pemimpin TNI Jenderal Soedirman, Letnan Jenderal Hamengku Buwono, para menteri dan banyak personel militer terkemuka.

Ribuan orang menyaksikan pawai ini. Usai pawai, Presiden Sukarno selaku Panglima TNI menganugrahkan “Bintang Gerilya” kepada semua anggota Divisi I, II, III, IV, Divisi Sumatra dan Divisi Kalimantan.

Parade ini juga dihadiri seluruh anggota komisi militer UNCI yang tiba di Yogyakarta pada Rabu pagi dengan menggunakan pesawat UNCI yang dipimpin Brigjen Prior.

Minggu kedua Desember 1949 terbentuk Panitia Penyelenggaraan Sidang Pemilihan dan Pelantikan Presiden R.I.S. Panitia tersebut diketuai oleh mr. Wongsonegoro dengan wakilnya, mr. Samsoeddin dan Kolonel Paku Alam. Sedangkan anggotanya terdiri dari: Ruslan Abdoelgani, Ki Hadjar Dewantoro, Djanoe Ismadi, mr. A.G. Pringgodigdo, mr. Mohamad Yamin, Pangeran Poerwokoesoemo, Roedjito, Pangeran Poerbojo, K.R.T. Honggowongso, dan overste Soeharto, serta R.M. Harjoto sebagai Sekretaris.

Pada 17 Desember jam 9 pagi Presiden R.I.S. Ir. Soekarno dilantik dan diambil sumpahnya di Pendopo Kepatihan Istana Yogyakarta. Setelah itu diadakan defile pasukan TNI di alun-alun Yogya yang dipimpin overste Soeharto (‘De Locomotief’ [Semarang], Jumat 16-12-1949).

Demikian yang dapa saya sarikan dari koran-koran Belanda yang terbit semasa. Dari laporan ini dapat dikesan peran penting tiga orang yang nama mereka hampir selalu muncul dalam laporan-laporan media dalam periode kritis yang dihadapi oleh pihak Republik di Yogyakarta dan sekitarnya. Mereka adalah: Jendral Sudirman, Sultan Hamengku Buwono IX, dan Letkol Soeharto. Dalam hal in, Letkol Soeharto dan pasukannya, bahkan sejak sebelum Belanda menduduki Yogya sampai penarikan pasukan Belanda dari Wonosari dan Yogyakarta, bahkan sampai pelantikan Ir. Soekarno sebagai Presiden R.I.S., overste Soeharto selalu aktif dalam mengkonsolidasikan pasukan TNI/anak buahnya, baik dalam rangka perayaan maupun untuk pengamanan rakyat dan para penjabat sipil.

MAKA, JIKA ADA SEORANG PELAKU SEJARAH YANG (MUNGKIN KARENA MEMILIH IDEOLOGI YANG BERBEDA DI KEMUDIAN HARI) MENGATAKAN BAHWA LETKOL SOEHARTO LEYEH-LEYEHAN SAJA MAKAN SOTO BABAT SAAT SERANGAN UMUM 1 MARET 1949 DI YOGYA TERJADI, YANG MELIBATKAN TIDAK KURANG DARI 2.000 ORANG TNI DAN PARA PEJUANG DARI BERBAGAI KELOMPOK, MAKA TERSERAH KEPADA LOGIKA GENERASI SEKARANG SAJALAH UNTUK MENILAINYA.

Leiden, Sabtu 5 Maret 2022

[Special Story] Pengorbanan Sang “Bapak Pramuka”, Penyelamat Republik Di Belakang Layar

Dok. Pic: Kwartir Nasional Gerakan Pramuka

Membahas tentang Sri Sultan Hamengkubuwono IX terutama dari sudut pandang kepramukaan, mungkin hal yang paling sering kita lihat atau dengar adalah biografi singkat beliau beserta perannya dalam perkembangan Gerakan Pramuka Indonesia. Namun, sepertinya tak banyak tulisan atau artikel yang mencoba membahas tentang peranan penting beliau dalam sejarah berdirinya NKRI, dukungan yang beliau berikan kepada Indonesia yang kala itu baru berdiri dan tentunya berbagai “sisat” beliau sebagai raja untuk rakyatnya di Yogyakarta. Hal ini memang bisa dimaklumi karena memang akan terasa ‘out-of-the topic’ dengan konteks kepramukaan dan tentunya karena adanya aspek politik didalamnya.

Sang Pahlawan Nasional (Berdasarkan Kepres No. 53/TK/Th 1990) sekaligus salah satu dari 4 Pramuka Indonesia hingga saat ini yang mendapatkan penghargaan Bronze Wolf WOSM tersebut memang merupakan tokoh krusial dalam berjalannya Negara Indonesia yang masih “belia”. Beliau bukanlah tipe orang yang suka “gambar-gembor” sehingga memang nama beliau seakan kalah bersinar jika dibandingkan dengan Dwitunggal (Sukarno – Hatta) bahkan Suharto dan Adam Malik meskipun kala itu beliau masuk ke jajaran “tri tunggal” ketika masa peralihan ke orde baru. Meskipun begitu, peran beliau terhadap negara maupun rakyat khususnya Yogyakarta tetap dapat dirasakan hingga sekarang. Karena itu, untuk menyambut post sebelumnya, saya akan mencoba merangkum ‘special story’ ini. Meskipun memang sedikit panjang dari biasanya namun setidaknya dapat memberikan sedikit informasi sejarah baru bagi kita semua….

Sri Sultan Hamengkubuwono IX adalah seorang raja didalam sebuah republik. Pada awal kemerdekaan Sang Raja mengeluarkan maklumat bahwa ia bertanggungjawab kepada Presiden Republik Indonesia. Ketika Yogyakarta yang kala itu menjadi ibukota jatuh, ia letakan jabatan kepala daerah sebagai tanda bahwa beliau tak mau bekerja sama dengan Belanda. Beliau bahkan menolak tawaran untuk menjadi “wali” bagi Jawa dan Madura dari Belanda.

Ketika pemimpin negara berangkat ke Den Haag mengikuti Konferensi Meja Bundar yang bersejarah itu, ia tetap tinggal di Yogyakarta dan beliau pula lah yang menerima penyerahan kedaulatan di Jakarta. Dukungan Sri Sultan kepada RI memang sangat total hingga ke urusan finansial dimana beliau rela berkorban mengeruk kas kraton demi Indonesia ‘muda’. Namun, ia tak mau jasanya itu digambar-gembor kan, itulah sebabnya artikel Jusuf Ronodipuro yaitu “Episode Bangka” yang menceritakan pemberian cek 6 juta gulden (sekitar 47 triliun rupiah, konversi Januari 2022) kepada Presiden Sukarno yang sedianya dimuat dalam buku ‘Tahta untuk Rakyat’ tak terjadi karena Sri Sultan melarangnya.

Ketika proklamasi kemerdekaan dibacakan pada jam 10 pagi, Jumat 17 Agustus 1945. Selang 2 jam kemudian masjid-masjid besar di Yogyakarta juga mengumumkan kabar proklamasi kemerdekaan kepada jemaah sholat Jumat sekaligus seluruh rakyat kala itu. Petang harinya, Ki Hajar Dewantara mengerahkan guru dan murid Taman Siswa untuk pawai bersepeda keliling kota Yogyakarta sekaligus memekikkan kata “Merdeka”. Beberapa jam setelahnya, Sri Sultan mengirimkan telegram ucapan selamat atas terbentuknya NKRI kepada Sukarno, M. Hatta, serta ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat.

Dua hari kemudian, sebuah pesan telegram susulan dari Yogyakarta datang yang menegaskan Yogyakarta “sanggup berdiri dibelakang pimpinan mereka” yang juga sekaligus menjadi pernyataan bahwa Yogyakarta bergabung ke wilayah Republik Indonesia. Sebuah pernyataan yang ‘mengejutkan’ karena sang Raja Yogyakarta kala itu yang masih dibawah pemerintahan jajahan, pasukan Jepang yang masih tersebar dan Belanda sebagai bagian dari sekutu pemenang perang dapat mengirim pasukan kapan saja untuk menagih kesetiaan Keraton yang diparaf Sultan sebagai salah satu syarat pelantikannya sebagai Raja Yogyakarta pada tahun 1940 sebelumnya. Meskipun begitu, Sri Sultan yang sebenarnya telah berembug dengan para abdi dalem keraton dan berbekal “Wisik” leluhur, tetap mantap menyatakan Yogyakarta sebagai bagian dari RI yang kemudian disusul dengan amanat Sri Sultan pada tanggal 5 September 1945 yang menyatakan Yogyakarta sebagai daerah istimewa Republik Indonesia berbentuk kerajaan yang kemudian disusul oleh Paku Alam VIII yang memberikan amanat yang sama kepada rakyatnya. Sejak saat itu, kerajaan Yogyakarta dan Paku Alaman bersatu menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta yang kita kenal sekarang dengan Sultan sebagai kepada dan pangeran Pakualam sebagai wakil pemerintahan.

Indonesia yang masih ‘belia’ dan tentunya banyak ancaman dari sukutu serta Belanda kala itu tak ayal membuat keamanan Jakarta sebagai ibu kota manjadi tak menentu, banyak sekali petinggi negara yang diburu oleh serdadu Belanda. Sultan Sjahrir yang kala itu menduduki posisi mentri pernah hampir tewas ketika mobilnya diberondong peluru serdadu Belanda, Sukarno-Hatta juga terpaksa berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran tentara Belanda. Melihat keadaan tersebut, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mengirim sepucuk surat kepada Bung Karno lewat seorang kurir yang isinya adalah tawaran pemindahan ibukota ke Yogyakarta yang segera direspon oleh presiden Sukarno dimana kemudian para petinggi negara segera menuju Yogyakarta setelah sebelumnya menyelesaikan rapat kabinet. Sri Sultan pun juga telah mempersiapkan Yogyakarta sebagai ibukota negara, termasuk dalam urusan pembiayaan yang diperlukan untuk menyokong pemerintahan. Sri Sultan juga mempersiapkan para cendikiawan dengan membangun perguruan tinggi Akademi Ilmu Pemerintah dan nantinya juga memegang peran besar dalam pendirian Universitas Gajah Mada sebagai bentuk penyediaan cendikiawan dan pemuda untuk negara kedepannya.

Cerita lainnya juga ketika Bung Karno dan pada petinggi lainnya menjalani pengasingan, Sri Sultan menjadi bagian dari delegasi Indonesia dalam perundingan Roem-Royen pasca serangan umum 1 Maret 1949. Sri Sultan juga sempat mendapatkan mandat dari Presiden Sukarno untuk memegang kekuasaan penuh dan pemerintahan Indonesia pada 1 Mei 1949 setelah Belanda pergi dari Jogja, dan kemudian menyerahkan kembali kekuasaan kepada Presiden Sukarno pada tanggal 6 Juli 1949. Saat konferensi meja bundar yang juga menjadi pengakuan kedaulatan Indonesia (kala itu RIS) oleh Belanda, Sri Sultan yang berada di Istana Gambir bersama dengan Johanes Lovink menjadi perwakilan Indonesia dan Belanda dalam penyerahan kedaulatan pemerintah RIS dari Pemerintah Belanda di Indonesia. Ketika Ratu Juliana selesai memberikan pidato sekaligus ucapan selamat atas kedaulatan Indonesia. Sri Sultan dan Lovink langsung menuju ke halaman Istana Gambir untuk melaksanakan upacara penurunan Bendera Prinsevlag (Julukan Bendera Belanda) yang diiringi dengan lagu Wilhelmus, lagu kebangsaan Belanda yang dinyanyikan oleh 28 tentara Belanda kala itu. Selang kemudian, berganti dengan penaikan bendera merah-putih yang diiringi oleh lagu Indonesia Raya. Ketika bendera sampai di puncak tiang, sontak rakyat yang telah menunggu di luar pagar istana meneriakkan kata merdeka yang terus dikumandangkan oleh rakyat. Saat itu pula, Istana Gambir berubah nama menjadi Istana Merdeka, dan gambaran proses menaikkan bendera ini dapat kita lihat saat upacara 17 Agustus setiap tahunnya.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX juga memegang peran penting dalam “Ikhtiar untuk mengisi kantong républik” untuk membentuk pondasi ékonomi pada awal Orde baru dimana pasca demokrasi terpimpin dimana perekonomian Indonesia yang morat-marit, dengan inflasi yang melambung ditambah dengan devisa negara yang kosong. Saat itulah Presiden Suharto menunjuk Sri Sultan untuk berkeliling dunia guna mencari bantuan dan menjajakan peluang investasi. Sri Sultan memegang peran penting untuk membentuk kembali kepercayaan negara Barat dan Malaysia dengan Indonesia sekaligus mendatangkan bantuan USD 30 juta dari Jepang. Sri Sultan juga berhasil meyakinkan negara luar dalam acara Tokyo Meeting tahun 1966 yang sekaligus membuka jalan Indonesia untuk menjadi warga ekonomi dunia. Langkah ini juga sempat menjadi kontroversi dinama Sultan dan pemerintah Indonesia kala itu dituding tengah berusaha “menjual Indonesia” karena banyaknya investasi asing yang masuk ke bumi pertiwi Indonesia.

Ketika ekonomi Indonesia berhasil membaik, Sri Sultan ditunjuk menjadi Wakil Presiden pada tahun 1973 hingga 1978 dan setelah tak mau memperpanjang masa jabatannya, terdapat isu bahwa hubungan Sri Sultan dengan Presiden Suharto memburuk terutama dengan alasan kesehatan yang dikemukakan Sri Sultan sebagai alasan beliau untuk menolak tawaran jabatan tersebut apalagi ditambah dengan kabar bahwa Presiden dan Wakilnya tak bertemu selama 9 bulan. Hal lainya juga adalah kontroversi pada peristiwa serangan 1 Maret dimana kala itu keluar film Janur Kuning dan komik yang sangat menonjolkan peran Suharto dalam peristiwa tersebut, dimana dikatakan bahwa peristiwa bersejarah yang mengembalikan kepercayaan rakyat kepada tentara sekaligus menarik perhatian dunia atas propaganda bohong Belanda nyatanya berawal atas usul Sultan, Jendral Sudirman sebagai pemberi perintah dan Letkol Suharto sebagai pelaksana lapangan. Dikatakan bahwa kontoversi ini juga menjadi salah satu alasan memburuknya hubungan Sultan dengan Suharto kala itu.

Salah satu cerita yang mungkin cukup populer bagi warga Yogyakarta adalah ketika beliau akan naik tahta pada tahun 1940 lalu. Setelah Sri Sultan Hamengkubuwono VIII mangkat pada akhir tahun 1939, terdapat perundingan alot antara GRM Dorodjatun (Gelar Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebelum diangkat menjadi Raja Yogyakarta) dan Gubernur Yogyakarta Luciden Adam terhadap kontrak politik dimana saat Raja baru dinobatkan, maka sang Raja wajib untuk menandatangani kesepakatan yang berisi kontrak politik antara Belanda dengan penguasa lokal untuk mengakomodasi kepentingan Belanda. Praktek ini sudah dilakukan sejak era VOC pada abad ke-17 dan juga menjadi syarat bagi pangeran untuk diangkat menjadi Sultan.

Dalam buku Tahta untuk Rakyat, dikatakan bahwa negosiasi dilakukan hampir setiap hari antara GRM Dorodjatun dan Gubernur Adam bahkan dilakukan hingga 3 kali sehari. Banyak literatur yang mengatakan lelahnya Dorodjatun muda menjalani rentetan perundingan ini, terutama karena banyaknya poin pada kontrak tersebut terdapat beberapa poin yang menemui jalan buntu sehingga perundingan berlangsung alot. Namun pada Februari 1940, sikap GRM Dorodjatun tiba-tiba berubah 180° setelah mendapatkan Wisik: “Wis tho le, teken no wae Landa bakal lunga seko bumi kene” (“Sudahlah nak, tanda tangani saja. Belanda bakal pergi dari bumi ini). Pada hari yang sama, pada sesi perundingan malam, beliau meminta Gubernur Adam untuk memfasilitasi kontrak dan ia bersedia menandatangani. Pertemuan itu berlangsung singkat, sekitar 10 menit sebelum akhirnya keduanya pulang. Kemudian pada awal bulan Maret 1940, kontrak pun ditandatangani dan GRM Dorodjatun naik takhta, ia pun dinobatkan menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Wisik yang diterima Sri Sultan terbukti benar karena selang 2 tahun setelahnya, Jepang menduduki Indonesia dan sempat mengusir Belanda dari bumi pertiwi.

Ketika masa pendudukan Jepang, juga terdapat sedikit cerita yang cukup terkenal dikalangan warga Yogyakarta yaitu perihal Selokan Mataram. Kala itu, Jepang membutuhkan banyak sekali sumber daya dalam perang menguasai seluruh Asia Timur yang juga ditambah dengan banyak kekalahan di sana-sini. Dalam usaha untuk menyokong kepentingan inilah, tentara Jepang merekrut penduduk lokal untuk diperas habis tenaganya sebagai romusha, dan banyak kasus dimana banyak romusha yang direkrut tak kembali lagi. Kala itu, Sri Sultan diminta untuk melaporkan hasil pertanian diwilayah Yogyakarta, namun Sri Sultan sedikit memanipulasi statistik pertanian rakyat yang tak mampu untuk mencukupi kebutuhan dimana pertanian tadah hujan tak bisa berjalan ketika musim kemarau panjang dan selalu dilanda banjir ketika musim hujan. Dan agar masyarakat terhindar dari kerja paksa itu, Sultan mengusulkan untuk membangun selokan irigasi dari Sungai Progo tembus ke Sungai Opak di Klaten dengan panjang 30 Km. Sebenarnya sejak zaman Belanda sudah ada saluran Van der Wicjk yang mengambil air dari Gunung Sumbing untuk mengairi kebun tebu milik Belanda tapi Sultan beralasan untuk melanjutkan irigasi tersebut.

Jepang pun setuju dengan usul Sultan bahkan menyediakan 1 juta gulden untuk membiayai proyek tersebut dimana pada awalnya akan dinamai dengan Kanal Yoshiro. Sultan merencanakan proyek ini untuk menyerap sebanyak mungkin rakyat untuk mengerjakan proyek tersebut sehingga Jepang tak memiliki kesempatan untuk menggunakan tenaga rakyat demi keperluan perang dan romusha, meskipun tetap ada rakyat yang diambil untuk romusha. Proyek pengerjaan Selokan Mataram dilakukan secara bertahap dan dilaksanakan dengan gotong-royong bergiliran tanpa diupah sehingga tak memberatkan rakyat dan tetap bisa mengerjakan pekerjaan pokoknya. Dikatakan juga kalau rombongan yang datang sengaja “melebihkan” jumlah anggotanya untuk mendapatkan jatah makan tambahan. Selokan Mataram ini tetap digunakan oleh masyarakat Yogyakarta hingga sekarang terutama untuk keperluan irigasi sawah.

Sejak kecil, Sri Sultan Hamengkubuwono IX memang telah di didik untuk mandiri jauh dari kehidupan Putra Mahkota Keraton. Sejak kecil beliau dititipkan kepada Keluarga Mulder dan mendapat panggilan “Henkie” yang juga menjadi panggilan akrab beliau dikalangan anak Belanda hingga berkuliah di Haarlem. Dari sekolah Belanda inilah beliau mengenal dunia Kepanduan hingga akhirnya beliau menjadi sosok Bapak Pramuka yang kita kenal hingga sekarang. Terlepas mungkin dari berbagai intrik politik beliau, namun tak bisa dipungkiri memang banyak hal yang dapat kita teladani dari beliau sekaligus juga lebih mengenal peran sekaligus “pengorbanan” yang telah Sri Sultan Hamengkubuwono IX berikan kepada NKRI.

Source: Majalah Tempo Edisi Khusus Kemerdekaan, 23 Agustus 2015

Sang Garuda, Pengobar Semangat Juang Bangsa.

Sutomo atau mungkin lebih kita kenal dengan Bung Tomo merupakan salah satu tokoh pahlawan nasional yang pertama muncul dibenak kita saat membahas tentang hari pahlawan yang juga bertepatan dengan hari ini. Dimana dalam pertempuran 10 November 1945 lalu, orasi-orasi beliaulah yang membakar semangat juang arek-arek Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Namun mungkin tak banyak yang tahu bahwa Bung Tomo pernah “ditempa” pada kawah candradimuka kepanduan ketika beliau masih muda, tepatnya saat beliau berusia 14 tahun dimana beliau bergabung sebagai anggota KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Nama beliau pun mulai dikenal oleh publik ketika Bung Tomo menjadi orang ke-2 dari seluruh penjuru Hindia Belanda yang berhasil mendapatkan gelar Pandu Garuda (atau Pandu Kelas 1) ketika beliau berusia 17 tahun.

Dok. Oleh majalah Femina tahun 1995

Saat Bung Tomo beranjak dewasa, beliau mengambil profesi sebagai seorang jurnalis dan sempat bergabung dengan sejumlah kelompok politik & sosial. Pada tahun 1944 beliau terpilih menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru yang di sponsori pemerintah Jepang, namun hampir tak ada seorang pun yang “mengenal” beliau kala itu.


Tapi semua itu berubah ketika pada bulan Oktober hingga November 1945, berkat orasi-orasi beliau melalui Radio Pemberontakan yang terletak di Jalan Mawar, Surabaya. Berawal dari peristiwa di Hotel Yamato pada tanggal 30 September yang membuat rakyat marah, selama sebulan lebih beliau berorasi dan menyulut semangat juang rakyat Surabaya kala itu. Tiap pukul setengah enam sore, rakyat berkumpul untuk mendengarkan orasi yang beliau kumandangkan lewat radio, bahkan dikatakan juga banyak orang yang memasang pengeras suara di tiang-tiang tinggi hingga orasi beliau menggelar di seluruh Surabaya.

Semangat nasionalisme dan jiwa patriotisme yang beliau dapat dari pandu inilah yang ingin beliau sampaikan kepada rakyat dan pejuang Surabaya kala itu. Semangat yang tetap beliau emban hingga dewasa dalam kehidupan sehari-hari beliau. Pada buku “Sulistiana Sutomo, Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu” salah satu kata “Mas Tom” yang teringat oleh ibu Sulistiana istri dari Bung Tomo adalah: “Kalau kamu hidup pada zaman Belanda, sebelum diambil menantu pasti ibuku akan bertanya, apakah kau bisa masak. Sini, kamu kuajari masak. Aku ini jago masak. Waktu kepanduan harus diuji masak.”
“Betul, percayalah. Aku ini seorang pandu sejati.”

Dikutip dari berbagai sumber